![]() |
Ilustrasi : Luthfy Syahban |
Jakarta- Kehadiran Presiden Joko Widodo dalam Rapat Kerja Nasional Partai Amanat Nasional pada Rabu, 06 Mei 2015, menjadi sinyal awal merapatnya partai yang dipimpin Zulkifli Hasan itu ke Pemerintah.
Kedatangan Jokowi merupakan jawaban atas undangan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, yang datang bersama Wakil Ketua Umum PAN Asman Abnur dan Sekretaris Jenderal Eddy Soeparno sebelumnya, 20 April 2015.
Sejak itu, kabar PAN merapat ke koalisi pendukung pemerintah mulai berembus. Apalagi Ketua Umum PAN yang juga menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Wira Wiri ke Istana Negara.
Lalu, September 2015, PAN resmi menyatakan mendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Adalah Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Jendral (Purnawirawan) Wiranto yang berperan besar dalam bergabungnya PAN ke barisan pendukung pemerintah.
"Ya, itu setelah beberapa kali pertemuan dengan beliau (Wiranto)," kata politikus Hanura, Sarifuddin Sudding.
Dukungan PAN segera disambar dengan kabar akan adanya kursi kabinet yang diserahkan kepada partai besutan Amien Rais itu. Namun, saat ditanya soal jatah menteri, banyak petinggi PAN yang terkesan malu-malu menjawabnya.
Misalnya Ketua Dewan Pimpinan Pusat PAN Didik Junaidi Rachbini. Ia enggan angkat bicara soal reshuffle (perombakan) kabinet jilid II dan peluang kader PAN masuk kabinet. Meski begitu, dosen Program Magister Manajemen Universitas Indonesia serta Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik UI ini mengatakan sudah semestinya PAN tidak sekedar duduk di pinggir jalan.
"Kader PAN banyak yang memiliki kualifikasi di bidang ekonomi, politik, dan hukum, namun semuanya dikembalikan lagi ke Presiden," ujarnya.
Didik menambahkan soal kepastian kader PAN masuk kabinet dan komunikasi politik melalui satu pintu, yakni ketua umum. "Mekanisme partai sudah ada agar semua terkontrol dan tidak menyerang pihak manapun," kata Didik. (Sumber : detikcom)
0 comments:
Post a Comment